Ratusan ‘pendekar’ silat di Klaten serang desa malam-malam bawa pedang, celurit, pipa, dan tongkat

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata ‘pendekar’ sebagai orang yang pandai bersilat, gagah berani, dan suka membela yang lemah. Tapi kalau ada 150 anggota pencak silat nyerang satu kampung dan merusak belasan rumah apa pantas dipanggil pendekar?

Seperti dilansir Okezone, Senin malam menjelang dini hari, ratusan anggota pencak silat SH Teratai datang ke Desa Ngeseng, Klaten, Jawa Tengah dengan membawa pedang, celurit, pipa, dan tongkat. Mereka datang jelas bukan untuk membantu warga kerja bakti, karena malam itu mereka malah menyerang warga dan merusak 17 belas rumah.

Polres Klaten malam itu sampai menurunkan 2 pleton (satu pleton itu sih biasanya 30-50 anggota) untuk mengamankan situasi dan menangkap 150 anggota SH Teratai serta menyita senjata-senjatanya. Setelah ditelusuri, ternyata penyerangan ini awalnya hanya karena tatap-tatapan antara anggota pencak silat dengan warga desa.

“Kejadian itu bermula antara Ridho yang anggota perguruan SH Teratai dan Denny (warga Desa Ngeseng) saling pandang. Terus keduanya tak terima dan berkelahi,” kata Kapolres Klaten, AKBP Faizal, seperti dikutip Okezone.

Aduh, mandangnya pakai benci sih bukan pakai cinta.

Perkelahian Ridho dan Denny terjadinya hari Minggu kemarin. Kayaknya sih cukup sengit tuh perkelahiannya, soalnya mereka sampai dibawa ke Polsek Ceper, Klaten, untuk didamaikan dan menghasilkan surat kesepakatan.

Tapi mungkin surat kesepakatan itu dibuatnya setengah hati kali ya (atau lupa nempelin materai), ujungnya malah ratusan SH Teratai nyerang ke kampung orang. Terus keroyokan dan bawa-bawa senjata. Ah, itu sih jelas bukan perilaku dari seorang yang ahli silat, gagah berani, dan suka membela kebenaran.