“Tak ada yang berubah,” kata PRT korban siksa di Hong Kong, Erwiana Sulistyaningsih

May 23, 2016
1086 Views

Pada tahun 2014 lalu, foto-foto yang menampilkan hasil penyiksaan warga Hong Kong terhadap pekerja rumah tangga asal Indonesia, Erwiana Sulistyaningsih, tersebar di internet.

Kasus ini pun menjadi sorotan dunia. Persidangan Hong Kong akhirnya memvonis Law Wun-Tang, majikan Erwiana, dengan hukuman enam tahun penjara.

Erwiana semenjak itu kerap menjadi pembicara dan dilihat sebagai pahlawan bagi lebih dari 300 ribu tenaga kerja Indonesia di Hong Kong yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga.

Banyak yang berharap kasus Erwiana ini bisa menekan pemerintah Hong Kong dan juga Indonesia untuk menjamin kesejahteraan para TKI yang rentan dengan kekerasan kerja dari para majikannya.

Setahun berlalu, harapan masih menjadi harapan.

Dalam acara peluncuran film dokumenter kisahnya, Erwiana gak bisa menahan tangisnya di depan perempuan senegaranya kemarin di Hong Kong saat membicarakan kondisi TKI sekarang ini.

“Saya dengar cerita tentang penyiksaan, kecurangan, dan juga eksploitasi yang dilakukan agen tenaga kerja, banyak sekali kasus seperti ini, dan gak hanya dialami oleh perempuan,” kata Erwiana.

Dalam wawancara dengan AFP, Erwiana bilang kalau belum ada perubahan yang signifikan terhadap kondisi TKI di Hong Kong. Masih banyak TKI yang gak mendapatkan keadilan.

Mayoritas pekerja rumah tangga di Hong Kong berasal dari Indonesia dan juga Fillipina.

Para pekerja migran ini mendorong negara kampung halaman untuk mengatasi agen-agen tenaga kerja swasta yang bermasalah – agen-agen yang secara sistematis melilit para pekerja dengan banyak hutang, bahkan sebelum bekerja, karena adanya biaya potongan yang tinggi.

Selain itu agen-agen ini juga menyita passport para tenaga kerja migran sebagai jaminan agar tidak ada yang kabur.

Para tenaga kerja migran di Hong Kong juga mempermasalahkan hukum ‘live-in’ di Hong Kong yang memaksa mereka untuk tinggal serumah dengan majikan. Ini memposisikan mereka di lingkungan yang rentan dengan penyiksaan.

Sebetulnya tuntutan-tuntutan dari pekerja migran ini bukanlah permintaan baru. Jauh sebelum kasus Erwiana, tuntutan-tuntutan ini sudah diutarakan namun tanpa ada respon yang signifikan dari pihak otoritas.

Hasil penelitian dari Justice Centre di Hong Kong menunjukkan, satu dari enam pekerja imigran di Hong Kong menjalani ‘kerja paksa’. Penelitian ini bahkan dibuat setelah dikeluarkannya himbauan PBB terhadap pemerintah Hong Kong untuk melindung korban kekerasan kerja dan juga mengatasi perdagangan orang.

“Saya sedih. Kasus kekerasan seperti yang saya alami masih saja terjadi dan terjadi lagi,” lirih Erwiana.

Masih adanya harapan

Film dokumenter tentang kisah Erwiana, Erwiana: Justice For All dibuat oleh sineas Amerika yang berdomisili di Hong Kong, Gabriel Ordaz. Film ini nantinya akan diputar di universitas-universitas di kota Hong Kong. Ordaz pun berencana untuk membawa kisah Erwiana ke festival film dunia, agar pesan para tenaga kerja imigran ini bisa tersampaikan ke masyarakat dunia yang lebih luas.

Film ini berisikan kisah-kisah perempuan yang terpaksa meninggalkan tanah kelahiran karena desakan memperbaiki kondisi ekonomi keluarga yang hidup dalam kemiskinan.

Pengalaman pahit Erwiana (yang dipaparkan selama persidangan) saat disiksa majikannya dengan kurungan, dibiarkan kelaparan, bahkan hingga mencapai titik dimana Erwiana harus menggunakan popok karena terlalu lemah untuk berdiri, juga dipaparkan di dokumenter ini.

Walaupun kehidupan Erwiana kini sudah membaik dengan mendalami ilmu ekonomi di kampung halaman dan juga menjadi pembicara untuk pekerja migran, namun masih ada hambatan fisik yang menjadi kendala. Erwiana masih suka sulit bernafas karena masih dalam proses pemulihan dari hidung yang patah. Bekas luka di kakinya jelas tampak, namun luka di pikiran dan hatinya masih terus coba diobati lewat konseling.

Erwiana sekarang sudah bisa mengatasi trauma terhadap suara keras, tapi masih kesulitan untuk fokus lebih dari 20 menit. “Pikiran saya bisa tiba-tiba blank,” katanya.

Erwiana semakin gak kuat menahan tangis saat dia berbicara tentang ibunya yang juga bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Brunei Darussalam.

“Setiap hari saya berdoa ibu bisa pulang dan berkumpul bersama kami, anak-anak kandungnya… ibu saya dan juga jutaan perempuan dan laki-laki Indonesia terpaksa harus kerja ke luar negeri karena kami miskin di negara sendiri,” kata Erwiana di depan para peserta screening film kemarin.

Namun masih ada harapan.

Ratusan pekerja migran kemarin ikut bergabung di Victoria Park untuk mendengarkan kisah Erwiana.

Semenjak kasusnya menjadi perhatian dunia, banyak pekerja migran menghubungi Erwiana untuk berkonsultasi dan menceritakan kasus mereka. Kasus-kasus ini kemudian diteruskan ke NGO di berbagai negara oleh Erwiana untuk didiskusikan penyelesaiannya.

“Mereka (para pekerja migran) merasa ada jalan keluar dari permasalahan mereka,” kata Erwiana kepada AFP.

Meskipun masih banyak hambatan dalam mewujudkan harapan dan tuntutan mereka, menurut Erwiana para pekerja gak boleh menyerah. “Kalau kita gak menolong diri kita sendiri, gak ada yang akan menolong kita,” ujarnya.

Tulisan ini disadur dari artikel AFP.

Share your thoughts

You may be interested

Kreator Spongebob meninggal, netizen Indonesia bikin meme pengajian
Viral
0 shares26225 views
Viral
0 shares26225 views

Kreator Spongebob meninggal, netizen Indonesia bikin meme pengajian

Batok.co - Nov 30, 2018

Selamat jalan Stephen Hillenburg.

Nyebrangin papan, motornya selamat orangnya nyebur (video)
Viral
0 shares7220 views
Viral
0 shares7220 views

Nyebrangin papan, motornya selamat orangnya nyebur (video)

Batok.co - Nov 29, 2018

“Ngapa lu loncat lontong!”