Antara selaput dara dan kanker serviks

June 20, 2017
1900 Views

Google Trends menunjukan hanya dua kali pencarian dengan topik ‘kanker mulut rahim’ dan ‘kanker serviks’ meningkat tajam di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Salah satu yang paling tinggi adalah dalam satu minggu belakangan, dipicu oleh kematian Julia Perez setelah dirawat intensif selama lima bulan terakhir.

Sementara momen lainnya yang memicu peningkatan pencarian dengan topik yang sama adalah pada pekan pertama September 2014, saat Julia Perez mengabarkan publik bahwa dia didiagnosa terkena kanker serviks.

Bisa jadi Julia Perez telah berhasil meningkatkan kesadaran dan keingintahuan mengenai kanker serviks dengan lebih efektif dibandingkan kampanye penyadartahuan dari pemerintah. Terbukti, selain ketiga frase di atas, masih menurut Google Trends, pencarian dengan topik kanker mulut rahim pada periode yang sama juga diikuti oleh pencarian tentang penyebab, gejala, dan ciri-ciri kanker mulut rahim.

Lalu, apakah kita akan berhenti pada pencarian informasi melalui Google saja?

Tidak untuk Raya, bukan nama sebenarnya. Lebih dari sekadar Googling, perempuan 29 tahun ini beberapa kali juga mencoba mengakses layanan kesehatan reproduksi di berbagai rumah sakit di Jakarta dalam beberapa tahun terakhir. Namun, mengakses layanan kesehatan reproduksi sebagai lajang di Jakarta tak melulu mudah.

Tak ramah lajang

Menurutnya, banyak dokter dan tenaga medis lainnya masih berpaling saat mengetahui bahwa dia belum menikah. Meski tidak seharusnya dinormalisasi, bagi Raya, ditolak sudah menjadi hal biasa kalau ingin memeriksa kesehatan reproduksi. Padahal memeriksakan kesehatan reproduksi adalah hal yang wajib dilakukan, terutama bagi mereka yang sudah aktif secara seksual. Sedangkan menikah dan aktif secara seksual adalah dua hal yang berbeda.

“Saya sampai pernah mengirim surat protes kepada pihak manajemen rumah sakit karena stigma ini. Saya tidak tahu apakah protes ini berhasil atau tidak, tetapi ketika saya kembali ke rumah sakit yang sama beberapa bulan kemudian, salah satu dokter kandungan akhirnya mau memberikan layanan. Tapi tetap saya harus bohong sedikit dan mengatakan bahwa saya akan segera menikah, sebab itu ingin memeriksa kesehatan reproduksi,” jelas Raya.

Stigma dari tenaga medis bisa jadi membuat perempuan lajang seperti Raya enggan, takut, dan khawatir untuk memeriksakan kesehatan reproduksinya. Katanya, tahun ini dia belum melakukan pemeriksaan rutin, lantaran lelah didiskreditkan. “Saya ini, katakanlah, teredukasi soal kesehatan reproduksi, tapi kalau setiap mau akses selalu distigma, kan capek, merasa terintimidasi juga lama-lama,” ungkapnya.

Padahal, perempuan yang telah aktif secara seksual diharapkan agar melakukan pemeriksaan papsmear setiap dua tahun sekali. Pemeriksaan rutin ini sangat berguna untuk deteksi dini, dan menghindari kanker serviks. Apalagi, mengingat tingkat kesembuhan kanker serviks yang relatif tinggi jika dideteksi pada stadium awal. Selain itu, imunisasi HPV juga disarankan untuk mencegah kanker jenis ini.

Stigma dan angka kematian

Sayangnya, meminta perempuan muda untuk memeriksa kesehatan reproduksi dan mengakses imunisasi HPV bukanlah hal mudah jika mereka masih harus khawatir terhadap stigma dari tenaga medis. Kalau sudah begini, tak heran jika kanker serviks pada akhirnya berakibat pada 9.498 perkiraan kematian di Indonesia. Mengantarkannya sebagai pembunuh perempuan nomor dua terbesar di Indonesia, setelah kanker payudara.

Ironinya, padahal dalam sumpah dokter jelas dikatakan bahwa dokter akan mengutamakan kesehatan pasien, dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita.

Sebut saja Embun Pagi (32 tahun), dia paham betul masalah stigma bagi lajang yang ingin mengakses layanan kesehatan reproduksi. Oleh karena itu, dia enggan berspekulasi dalam memilih dokter dan rumah sakit untuk mengakses layanan tersebut. Maka, dia hanya memilih dokter kandungan yang terkenal baik dan tidak bias terhadap perempuan lajang yang aktif secara seksual.

Menurutnya, beberapa rumah sakit yang cukup ramah biasanya adalah rumah sakit yang lebih modern, dan tak jarang menyebut diri mereka internasional, seperti halnya sebuah rumah sakit di bilangan Kuningan, Jakarta. Efek sampingnya, rumah sakit macam ini tidak melulu terjangkau oleh semua kalangan.

Padahal, meski dipandang tabu, hubungan seks di luar pernikahan bukanlah fakta baru di Indonesia. Yayasan Kesehatan Perempuan dalam laporannya mengatakan bahwa 1% dari anak laki-laki dan 4% dari anak perempuan telah melakukan hubungan seksual sebelum berusia 13 tahun, dan sepertiga dari kelompok responden yang sama telah berhubungan seksual saat mencapai usia 17 tahun.

Selain itu, lebih dari 15 tahun yang lalu, Yayasan Cinta Kasih pernah mempublikasikan hasil survei yang menunjukan bahwa lebih dari 97% mahasiswa di Jogja sudah pernah berhubungan seksual. Terlepas dari perdebatan legitimasi metode survei yang dilakukan, survei ini menjadi bukti penting betapa perlunya rumah sakit untuk lebih terbuka kepada calon pasien yang ingin memeriksakan kesehatan reproduksinya, meski belum menikah.

Persoalan selaput dara

Dokter Innu Titis Pujiastari mengatakan biasanya pasien yang belum menikah tetapi sudah aktif berhubungan seksual akan diperlakukan seperti layaknya yang sudah menikah. Bedanya, kalau belum menikah, dokter akan meminta agar pasien menandatangani formulir informed consent. Formulir sebanyak dua lembar ini, penjelasan mudahnya, menyatakan bahwa pasien telah diberi informasi dan setuju untuk dilakukan tindakan.

Dokter Innu melanjutkan, dalam pemeriksaan pap smear, alat kelamin perempuan akan dibuka lebar, sebab itu dibutuhkan informed consent. Namun, selain urusan informed consent, seharusnya tidak ada kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan reproduksi. Dia juga menambahkan, pasien bisa saja mengatakan sudah menikah untuk mempermudah urusan. “Di Jakarta mah nggak usah dibilang, bilang aja sudah kawin,” imbuhnya.

Menurut Dokter Lily Burkon, informed consent masih penting untuk diberikan sebelum memberikan layanan terkait kesehatan reproduksi, salah satunya karena khawatir dianggap merusak hymen, atau selaput dara. Menurutnya, dokter tidak ingin disalahkan, apalagi jika sampai dituntut apabila pada masa mendatang rusaknya hymen ternyata menjadi masalah.

“Selaput dara masih menjadi hal krusial di Indonesia. Sementara, beberapa jenis pemeriksaan organ kewanitaan dapat merusak selaput dara. Dokter tidak mau kalau nanti disebut-sebut bertanggung jawab karena telah merusak selaput dara pasien. Kalau persoalan perilaku seksual, itu hak dan privasi masing-masing. Apalagi di Jakarta, seks sudah bukan hal yang tabu. Saya tidak berhak menyudutkan pasien cuma karena dia sudah berhubungan seksual sebelum menikah. Sebagai dokter, saya hanya berfokus pada tindakan pencegahan dan pengobatan, misalnya, bagaimana agar pasien tidak terkena penyakit menular seksual,” imbuh Dokter Lily.

Bukan mengada-ada kalau Dokter Lily khawatir jika dikambinghitamkan dalam persoalan rusaknya selaput dara. Di Indonesia, selaput dara adalah isu yang sensitif, misalnya saja pada 2014 isu tes keperawanan untuk menjadi anggota kepolisian sempat menyeruak, meski akhirnya dibantah. Bahkan, walau ramai ditentang, wacana tes keperawanan bagi siswi SMP dan SMA pernah ramai dibicarakan setelah DPRD Jember, Jawa Timur mengusulkannya sebagai syarat kelulusan pada 2015.

Selain itu, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) adalah institusi lain yang mewajibkan calon prajanya menjalani tes keperawanan. Meski pada 2015 Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta agar tes ini dihapus, belum ada pemberitaan lebih lanjut apakah hal ini sudah dihapuskan atau belum.

Stigma semacam ini lah yang kemudian mengintimidasi, tak hanya pasien dan calon pasien, tetapi juga dokter dan pemberi layanan medis lainnya.

Tragedi dalam statistik

Katanya, kematian ribuan atau jutaan orang adalah statistik belaka, sementara kematian satu orang menjelma tragedi. Julia Perez adalah tragedi tersebut. Bagi banyak orang, statistik tersebut tidak berarti banyak, hanya deretan angka-angka. Sampai akhirnya seorang Julia Perez menjadi bagian dari deretan angka-angka ini.

Stigma dan kurang ramahnya layanan kesehatan bagi lajang yang telah paham pentingnya kesehatan reproduksi, atau di sisi lain, kurangnya edukasi mengenai kesehatan reproduksi, adalah setali tiga uang dalam persoalan pencegahan kanker mulut rahim. Kedua hal tersebut bisa jadi berkontribusi pada 26 kematian setiap hari akibat kanker serviks di Indonesia. Angka ini hanya akan bertambah kalau kita tidak lebih menghargai hak kesehatan reproduksi seseorang ketimbang lapisan tipis selaput dara.

Share your thoughts

You may be interested

Kreator Spongebob meninggal, netizen Indonesia bikin meme pengajian
Viral
0 shares26100 views
Viral
0 shares26100 views

Kreator Spongebob meninggal, netizen Indonesia bikin meme pengajian

Batok.co - Nov 30, 2018

Selamat jalan Stephen Hillenburg.

Nyebrangin papan, motornya selamat orangnya nyebur (video)
Viral
0 shares7142 views
Viral
0 shares7142 views

Nyebrangin papan, motornya selamat orangnya nyebur (video)

Batok.co - Nov 29, 2018

“Ngapa lu loncat lontong!”